16 Tahun Tragedi Trisakti : Tragedi Kemanusiaan
Hari
ini, 16 tahun lalu merupakan awal dari momentum bersejarah sekaligus
momentum yang cukup memilukan dan tragis. Momentum bersejarah karena
peristiwa yang terjadi merupakan awal dari rentetan peristiwa yang
berujung dengan tumbangnya Orde Baru. Momentum tragis karena peristiwa
ini harus mengorbankan darah manusia sebagai martirnya. 16 tahun lalu
peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti oleh aparat keamanan menyebabkan
tewasnya 4 mahasiswa Trisakti, mereka adalah Elang Mulia Lesmana
(Fakultas Arsitektur 1996), Heri Hertanto (Fakultas Teknik Industri
1995), Hafidin Royan (Fakultas Teknik Sipil 1995) dan Hendriawan Sie
(Fakultas Ekonomi 1996). Peristiwa penembakan ini yang di awali dengan
aksi damai mahasiswa dalam menuntut Presiden Soeharto turun kemudian
dikenal dengan Tragedi Trisakti.
Tragedi
Trisakti merupakan awal dari tragedi – tragedi yang terjadi diproses
peralihan dari Orde Baru menuju era Reformasi. Setelah peristiwa di
depan kampus Trisakti tersebut berlanjut peristiwa – peristiwa lainnya
yang tak kalah memilukan seperti tragedi Semanggi I dan Semanggi II.
Peristiwa trisakti ini bermula dari kondisi perekonomian Indonesia yang
sedang jatuh di awal 1998. Krisis ekonomi yang menerpa Asia pada waktu
itu cukup berimbas terhadap perekonomian Indonesia. Berlatar belakang
krisis finansial tersebut mahasiswa menuntut Presiden Soeharto yang
telah berkuasa lebih dari 3 dekade untuk turun. Demonstrasi besar –
besaran pun terjadi menuntut DPR/MPR menurunkan Soeharto.
Di
awali dengan mimbar bebas oleh civitas akademika Universitas Trisakti
dengan rasa keprihatinan terhadap kondisi bangsa pada saat itu,
mahasiswa kemudian bergerak keluar kampus menuju gedung DPR/MPR. Di
tengah long march menuju gedung DPR/MPR aksi mahasiswa di
hadang oleh satuan petugas dari kepolisian dengan perlengkapan pentungan
dan tameng lengkap. Setelah melalui negoisasi yang cukup alot akhirnya long march
mahasiswa dihentikan disana tepat di depan kantor Walikota Jakarta
Barat. Aksi spontan mahasiswa berlanjut dengan mimbar bebas di depan
kantor Walikota Jakbar tersebut, seiring dengan bertambahnya aparat dari
Pengendalian massa (Dalmas), Kodam Jaya dan aparat kepolisian lainnya.
Di
tengah – tengah hujan negoisasi antara Mahasiswa dengan Dandim dan
Kapolres berlanjut, akhirnya terjadi kesepakatan setelah dari pihak
Mahasiswa di bujuk oleh Dekan FE dan Dekan FH Universitas Trisakti bahwa
kedua belah pihak sama – sama mundur. Aparat dan mahasiswa sama – sama
mundur teratur sampai terjadi provokasi oleh seorang oknum yang mengaku
sebagai alumni Trisakti dan menyebabkan suasana menjadi tegang.
Setelah
terjadi negoisasi kembali, akhirnya mahasiswa mundur secara teratur
kembali ke kampus Trisakti. Di tengah – tengah teraturnya mahasiswa
kembali ke kampus Trisakti beberapa aparat provokatif kepada mahasiswa
yang menyebabkan beberapa mahasiswa terpancing emosinya. Bersamaan
dengan itu aparat secara membabi buta menyerang mahasiswa dengan
tembakan dan gas air mata. Kepanikan yang terjadi membuat mahasiswa lari
menuju kampus, tetapi oleh aparat tetap di kejar, dipukul, diinjak
dipopor senjata dan tindakan kekerasan lainnya. Tembakan dan pelemparan
gas air mata semakin merajalela kearah mahasiswa. Tidak lama berselang,
pasukan Unit Reaksi Cepat (URC) bermotor mengejar mahasiswa sampai
gerbang kampus. Mahasiswa yang telah berada didalam kampus tak luput
dari sasaran tembak, dengan formasi siap tembak dan beberapa sniper
mahasiswa yang telah di dalam kampus berjatuhan oleh peluru dari
aparat. Dan tidak dapat di elakkan lagi 4 mahasiswa Trisakti tewas dan
puluhan lainnya luka – luka.
16
tahun telah berlalu, tragedi Trisakti masih menyisahkan pilu bagi
gerakan mahasiswa di tanah air. Peristiwa yang terjadi tepat pada
tanggal 12 Mei 1998 itu merupakan saksi bagaimana aparat mengesampingkan
rasa kemanusiaannya demi tugas komandannya. Tragedi Trisakti merupakan
saksi bagaimana pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dihalalkan untuk
mencapai suatu tujuan kelompok tertentu. Tragedi Trisakti merupakan
tragedi kemanusiaan yang memicu tragedi kemanusiaan lainnya di tanah
air.
16
tahun telah berlalu, sampai hari ini penyelesaian tragedi Trisakti
belum menemukan titik temu. Siapa dalang di balik pelanggaran HAM ini?
sudah tentu diduga kuat (Alm) Soeharto mantan penguasa Orde Baru
terlibat disini, tetapi pion – pion yang dipakainya pada waktu itu siapa
saja? Wiranto selaku Panglima ABRI pada saat itu? Prabowo Subiyanto
Pangkostrad sekaligus pimpinan “Tim Mawar” Kopassus TNI AD pada saat
itu? Atau Timur Pradopo yang menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat?.
Beberapa nama yang disebutkan punya alibi tersendiri dengan merasa tidak
bertanggung jawab terhadap tragedi kemanusiaan tersebut. Tetapi pasti
dan nyata tragedi Trisakti ini ada dalang dan pion – pionnya yang harus
segera di ungkap agar tidak terus – menerus mengendap. Melawan Lupa, 16
Tahun Doa untuk korban pejuang Demokrasi, Korban Tragedi Trisakti.
Sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2014/05/12/16-tahun-trisakti-tragedi-kemanusiaan-655934.html
0 komentar: