Tari Reog Kendang

Reog Kendang, dikenal juga dengan Reog Kendhang atau yang dipopulerkan dengan nama Reog Tulungagung, merupakan kesenian tradisional yang memiliki aras tradisi yang sama dengan Reog Ponorogo. Sejarah mencatat, adanya kesenian reog itu sendiri tidaklah lepas dari sejarah tentang keberadaan Kraton Kediri.Dalam Reog Kendang, barisan prajurit ini diwakili oleh enam orang penari dengan berbagai atribut yang dipakainya. Menariknya, setiap gerakan dalam Reog Kendang maupun atribut-atribut yang dipakai merupakan simbolisasi yang kaya dengan makna. Salah satu contohnya adalah Udheng. Ikat kepala yang terbuat dari kain batik motif gadung warna hitam ini memiliki makna sebagai lambang dari nilai persatuan dan kesatuan (dari para prajurit). Dan warna hitam sendiri melambangkan ketenangan, adil, tegas dan berwibawa.

Reog Kendang Tulungagung yaiku kesenian tari rakyat kang ngambarake arak-arakan prajurit Kedhirilaya ing kagiatan ngiringi Ratu Kilisuci tumuju ing gunung kelud,kanggo nemoni Jathasura.Jroning tarian reog kendang Tulungaung kang dipunggawani kanthi cacah panari 6 wong lan ngambarake para prajurit.
  Tari ini disebut juga dengan Reog Tulungagung, Karen berkembang didaerah Tuliunggagung dan sekitarnya. Konon tarian ini melukiskan tentang iringan – iringan prajurit kediri ketika hendak menjebak raksasan di kawah gunung Kemput, Kisah tarian ini erat hubungannya dengan legenda terjadinya kota Kediri. Versi lain menyebutkan bahwa tarian ini diilhami oleh permainan gendang prajurit bugis dalam salah satu kesatuan laskar trunojoyo, Alat yang digunakan adalah Tam-Tam  (kendang kecil yang digendong)
Sejarah  Tari Reog Kendang   
Menurut catatan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung, Reog Kendang merupakan gubahan tari tradisional yang menggambarkan arak-arakan prajurit pasukan Kedhirilaya tatkala mengiringi rombongan pengantin Ratu Kilisuci ke Gunung Kelud. Alkisah, Putri Kilisuci sedang dilamar oleh Raja Bugis untuk dijadikan permaisuri. Dalam perjalanannya ke (arah0 Madiun, para prajurit yang mewakili Raja Bugis dalam melakukan lamaran ini tersesat lewat Ponorogo, Trenggalek dan Tulungagung sebelum akhirnya sampai di Kediri.
Secara keseluruhan, Reog Kendang mengilustrasikan tentang sebuah perjalanan yang harus ditempuh oleh para prajurit. Mulai dari gambaran tentang beratnya beban yang mereka bawa dan mereka harus terbungkuk-bungkuk membawanya, susahnya perjalanan yang dilalui dengan naik turun lembah-lembah yang curam sehingga mereka terseok-seok, sampai pada kegembiraan terhadap kemenangan yang dicapai oleh para prajurit. 

Sumber : http://tarijatim.blogspot.com/2013/12/tari-reog-kendang.html

0 komentar:

Temanten Kucing

Mungkin banyak orang yang tidak percaya jika hujan bias didatangkan lewat ritual khusus. Caranya pun cukup unik yakni dengan memandikan sepasang kucing berlainan jenis di sebuah sendang atau coban.


Ada tradisi unik di Desa Pelem Kecamatan Campur-darat, Kabupaten Tulung­agung. Warga di desa tersebut sangat percaya jika kemarau panjang bisa diakhiri dengan ritual khusus yakni “Man-ten Kucing.”
Ketika musim penghujan tak kunjung turun dan tanah-tanah persawahan mulai mongering, warga desa mengadakan satu ri­tual yang dipercaya bisa menu­runkan hujan yakni “Manten Ku­cing”. Tetapi jangan membayang­kan jika ritual ini adalah ritual perkawinan kucing. Ritual yang di­percaya ada sejak masa peme­rintahan Belanda ini, hanya me­mandikan dua ekor kucing berla­inan jenis di sendang atau coban, tidak jauh dari desa bernama Co­ban Kram.
Lantas mengapa dikatakan manten? Ketika ditelisik lebih da­lam, ternyata ritual memandikan dua ekor kucing ini diupacarakan menyerupai ritual sepasang pe­ngantin menusia. “Karena itulah ri­tual tersebut yang lantas mendasari nama manten kucing,” kata Kepala Desa Palem, Nugroho Agus.
Ketika ditanya kapan pertama kali ritual Manten Kucing digelar, Agus tidak bisa mengatakan pasti. Hanya saja menurut lelaki ber­kumis tebal ini, ritual asli Tulung­agung tersebut, ada sejak ratusan tahun lalu saat pemerintahan Be­landa oleh Eyang Sangkrah pembabat alas desa setempat Kala itu, terjadi musim ke-
marau panjang yang membuat persawahan, sungai, dan telaga (kolam air untuk minum warga) kering. Para penduduk yang ma­yoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual keper­cayaan telah dilakukan dengan tujuan agar hujuan segera turun. Namun tak setitik air pun turun meski semua warga desa me­mohon pada sang pencipta.
Ditengah-tengah kegelisahan tersebut tanpa sengaja saat Eyang Sangkrah mendi di sen­dang. Tiba-tiba kucing Condro-mowo (kucing yang memiliki tiga warna berbeda) miliknya ikut mandi.
Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turun­nya hujan tak bisa menyembu­nyikan rasa riangnya. “Mereka yakin, hujan turun ini ada kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing Cpndromowo,” tutur Agus men­ceritakan asal muasal sejarah ‘Temanten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nu­groho Agus, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk me­mandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Lalu, dua ekor ku-
cing itu dimandikan di Coban yang berjarak sekitar satu kilo meter dari desa Palem. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai meng­guyur di Desa Pelem dan seki­tarnya. “Saat ini, kami menggelar ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi, tradisi ini kami lestarikan untuk nguriruri warisan nenek moyang,” kata Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo.

MULAI DIPERCAYA
Sejak saat itu, jika musim ke­marau panjang melanda desa Pelem, warga akan meminta ke­pala desa menggelar ritual ter­sebut. Seiring perkembangan bu­daya, tradisi, dan zaman, ritual “Manten Kucing” pun dilengkapi beberapa sajian kesenian khas Jawatimuran. Jika dulu kucing dibawa tanpa hiasan, maka sejak 1980-an, ritual melibatkan sejum­lah adat dan kesenian. Seperti si pembawa kucing terdiri dari laki-laki dan perempuan yang mema­kai pakaian layaknya orang mau menikah. Selain itu ada juga iring-ringan warga desa dan sesepuh. Tepat di belakang pembawa ku­cing, terdapat dua orang dayang laki-laki membawa payung pusaka.
Untuk menambah kemeriah­an ritual, terdapat beberapa anak yang memainkan jaranan, sete­lah itu baru rombongan dari para sesepuh desa, dimana mereka juga terdiri dari Mbah Kakung (kakek) dan Mbah Putri (nenek), yang juga memakai pakaian adat. Kemudian rombongan tersebut, berjalan menuju sendang.
Setelah selesai, kedua kucing kemudian duduk di singgasana dipangku dua pengiringnya. Tetua adat sudah mempersiapkan nasi tumpeng lengkap dengan lauk dan sayurnya serta jenang merah sebagai prasyarat. Tetua Desa pun langsung memanjatkan puja dan puji syukur atas nikmat Tuhan serta tak lupa meminta Tuhan se­gera mengirimkan hujan agar ti­dak terjadi kekeringan. Selesai pembacaan doa-doa, ritual dilanjutkan dengan acara Tiban, yakni saling menyabetkan sapu lidi yang diikat kepada lawan. Di­harapkan dengan tiban tersebut, hujan akan segera turun. “Keleng­kapan upacara adalah kebutuh­an, dan daya tarik tersendiri a-palagi ritual ini telah dimasukkan sebagai ikon kebudayaan Kabu­paten Tulungagung,” tuturnya.
Yang mengherankan meski pada uparara ritual sekarang ini tidak menggunakan kucing Condromowo melainkan kucing kampung biasa, namun selesai ritual hujan tetap turun. “Sekarang ini kucing Condromowo sudah tidak ada, karena itulah kami me­makai kucing kampung, tetapi toh hujan tetap turun juga,” ung­kapnya.
Seperti saat menggelar upa­cara di Taman Mini Indonesia In­dah (TMII) Jakarta pada 2005 lalu, kala itu Nugroho Agus menggu­nakan kucing jenis angora. Hasilnya taman mini diguyur hu­jan lebat. “Aneh memang, meski digelar tidak di Tulungagung dan kucingnya buka lokal, hujan tetap turun,” kata Kepala desa yang menjabat sejak 2007 ini bangga.

DIPEREBUTKAN
Yang membuat unik bukan hanya hujan langsung turun. Te­tapi setelah upacara memandikan kucing selesai, warga desa akan langsung berebut air bekas me­mandikan kucing itu. Mereka per­caya dengan membasuh muka dengan air, mereka akan men­dapat berkah. Bahkan ada juga yang bertiarap bisa awet muda. “Memang tidak masuk akal jika air bisa mendatangkan berkah, tetapi warga desa di sini sangat percaya akan hal itu,” kata Nugroho.
Selain air, kucing yang dipakai untuk ritual juga akan diperebut­kan untuk dijadikan hewan pe­liharaan, dengan harapan akan mendatangkan rejeki bagi sang pemilik. “Semua warga pasti ingin memiliki kicing yang telah dipakai untuk ritual. Selain dipercaya dapat mendatangkan rejeki, secara kua­litas baik kesehatan dan fisik, ku­cing ini pilihan, jadi sang pemilik tidak akan kesulitan merawatnya,” ujarrnya.
la berharap, ritual “Manten Ku­cing” bukan hanya menjadi ke-banggaan kabupaten yang ter­letak pada ketinggian 85 m di atas permukaan laut tersebut, tetapi juga Jawa Timur secara umum. “Ini sangat unik dan baru Tunga-ngung yang punya. Jika dijadikan ikon Jatim saya rasa “Manten Kucing” sangat layak,” harapnya.

MULAI DITINGGALKAN
Sayangnya, perhelatan ritual “Manten Kucing” kini tak sesakral tahun-tahun silam. Perhelatan ri­tual itu saat ini cenderung semakin instan. Banyak tradisi-tradisi unik yang merupakan bagian dari pro­sesi yang kini justru dihilangkan.
Beberapa tahun lalu, suasa­na sakral masih mewarnai pro­sesi ritual unik ini. Saat itu, prosesi ritual ini masih menampilkan sejumlah keunikan. Misalnya, ke­tika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan tembang dolanan khas Jawa.


“Uyek-uyek ranti,
ono bebek pinggir kali,
nuthuli pari sak uli,
Tithit tfiuiiit.. Kembang opo?
Kem­bang-kembang menur,
ditandur neng pinggir sumur,
 yen awan manjing sak dulur,
yen bengi dadi sak kasur.”

Begitu syair tembang dolanan berbahasa Jawa yang tiga tahun lalu masih dilantunkan wanita-wanita tua. Tembang dolanan itu dilantunkan seraya memegangi dua tangan pasa­ngan pengantin kucing.
Pada pagelaran ritual manten kucing yang terakhir yakni tahun 2007, prosesi dihelat dengan pembacaan doa yang diikuti se­jumlah sesepuh desa. Begitu doa-doa selesai, maka tuntas sudah perhelatan pengantin kucing. Sehingga timbul kesan, ritual “Manten Kucing” cenderung simpel dan instan.
Toh demikian, ritual “Manten Kucing” tetap saja berlangsung marak. Maklum, ritual ini memang diyakini warga setempat sebagai wahana untuk memohon turun­nya hujan. “Awalnya, tradisi ini, memang menjadi sarana nenek moyang untuk memohon turun­nya hujan,” kata Kepala Desa yang juga tokoh sentral penye­lenggara ritual ini.

Sumber : Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:POTENSI JAWA TIMUR, EDISI 09, TAHUN VIII/2008 

0 komentar:

Karapan Sapi

Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. Di bulan November tahun 2013, penyelenggaraan Piala Presiden berganti nama menjadi Piala Gubernur.

Sejarah

Awal mula kerapan sapi dilatar belakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan matapencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang.
Suatu Ketika seorang ulama Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur) yang memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat madura dengan sebutan "nanggala" atau "salaga" yang ditarik dengan dua ekor sapi. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan menggarapnyadisawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi musik saronen.

Pelaksanaan Kerapan Sapi

Pelaksanaan Karapan Sapi dibagi dalam empat babak, yaitu : babak pertama, seluruh sapi diadu kecepatannya dalam dua pasang untuk memisahkan kelompok menang dan kelompok kalah. Pada babak ini semua sapi yang menang maupun yang kalah dapat bertanding lagi sesuai dengan kelompoknya.
Babak kedua atau babak pemilihan kembali, pasangan sapi pada kelompok menang akan dipertandingkan kembali, demikian sama halnya dengan sapi-sapi di kelompok kalah, dan pada babak ini semua pasangan dari kelompok menang dan kalah tidak boleh bertanding kembali kecuali beberapa pasang sapi yang memempati kemenangan urutan teratas di masing-masing kelompok.

Babak Ketiga atau semifinal, pada babak ini masing sapi yang menang pada masing-masing kelompok diadu kembali untuk menentukan tiga pasang sapi pemenang dan tiga sapi dari kelompok kalah. Pada babak keempat atau babak final, diadakan untuk menentukan juara I, II, dan III dari kelompok kalah
 
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Karapan_sapi

0 komentar:

Tari Remo

Tari Remo adalah salah satu tarian untuk penyambutan tamu agung, yang ditampilkan baik oleh satu atau banyak penari. Tarian ini berasal dari Provinsi Jawa Timur.

Asal-usul

Tari Remo berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tarian ini berasal dari kecamatan Diwek Di desa Ceweng, tarian ini diciptakan oleh warga yang perprofesi sebagai pengamen tari di kala itu, memang banyak profesi tersebut di Jombang, kini Tarian ini pada awalnya merupakan tarian yang digunakan sebagai pengantar pertunjukan ludruk. Namun, pada perkembangannya tarian ini sering ditarikan secara terpisah sebagai sambutan atas tamu kenegaraan, ditarikan dalam upacara-upacara kenegaraan, maupun dalam festival kesenian daerah. Tarian ini sebenarnya menceritakan tentang perjuangan seorang pangeran dalam medan laga. Akan tetapi dalam perkembangannya tarian ini menjadi lebih sering ditarikan oleh perempuan, sehingga memunculkan gaya tarian yang lain: Remo Putri atau Tari Remo gaya perempuan.
Menurut sejarahnya, tari remo merupakan tari yang khusus dibawakan oleh penari laki – laki. Ini berkaitan dengan lakon yang dibawakan dalam tarian ini. Pertunjukan tari remo umumnya menampilkan kisah pangeran yang berjuang dalam sebuah medan pertempuran. Sehingga sisi kemaskulinan penari sangat dibutuhkan dalam menampilkan tarian ini.
Berdasarkan perkembangan sejarah tari remo, dulunya tari remo merupakan seni tari yang digunakan sebagai pembuka dalam pertunjukan ludruk. Namun seiring berjalannya waktu, fungsi dari tari remo pun mulai beralih dari pembuka pertunjukan ludruk, menjadi tarian penyambutan tamu, khususnya tamu – tamu kenegaraan. Selain itu tari remo juga sering ditampilkan dalam festival kesenian daerah sebagai upaya untuk melestarikan budaya Jawa Timur. Oleh karena itulah kini tari remo tidak hanya dibawakan oleh penari pria, namun juga oleh penari wanita. Sehingga kini muncul jenis tari remo putri. Dalam pertunjukan tari remo putri, umumnya para penari akan memakai kostum tari yang berbeda dengan kostum tari remo asli yang dibawakan oleh penari pria.

Tata Gerak

Karakteristika yang paling utama dari Tari Remo adalah gerakan kaki yang rancak dan dinamis. Gerakan ini didukung dengan adanya lonceng-lonceng yang dipasang di pergelangan kaki. Lonceng ini berbunyi saat penari melangkah atau menghentak di panggung. Selain itu, karakteristika yang lain yakni gerakan selendang atau sampur, gerakan anggukan dan gelengan kepala, ekspresi wajah, dan kuda-kuda penari membuat tarian ini semakin atraktif. SANDAL

Tata Busana

Busana dari penari Remo ada berbagai macam gaya, di antaranya: Gaya Sawunggaling, Surabayan, Malangan, dan Jombangan. Selain itu terdapat pula busana yang khas dipakai bagi Tari Remo gaya perempuan.


Busana gaya Surabayan

Terdiri atas ikat kepala merah, baju tanpa kancing yang berwarna hitam dengan gaya kerajaan pada abad ke-18, celana sebatas pertengahan betis yang dikait dengan jarum emas, sarung batik Pesisiran yang menjuntai hingga ke lutut, setagen yang diikat di pinggang, serta keris menyelip di belakang. Penari memakai dua selendang, yang mana satu dipakai di pinggang dan yang lain disematkan di bahu, dengan masing-masing tangan penari memegang masing-masing ujung selendang. Selain itu, terdapat pula gelang kaki berupa kumpulan lonceng yang dilingkarkan di pergelangan kaki.

Busana Gaya Sawunggaling

Pada dasarnya busana yang dipakai sama dengan gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni penggunaan kaus putih berlengan panjang sebagai ganti dari baju hitam kerajaan.

Busana Gaya Malangan

Busana gaya Malangan pada dasarnya juga sama dengan busana gaya Surabayan, namun yang membedakan yakni pada celananya yang panjang hingga menyentuh mata kaki serta tidak disemat dengan jarum.

Busana Gaya Jombangan

Busana gaya Jombangan pada dasarnya sama dengan gaya Sawunggaling, namun perbedaannya adalah penari tidak menggunakan kaus tetapi menggunakan rompi.

Busana Remo Putri

Remo Putri mempunyai busana yang berbeda dengan gaya remo yang asli. Penari memakai sanggul, memakai mekak hitam untuk menutup bagian dada, memakai rapak untuk menutup bagian pinggang sampai ke lutut, serta hanya menggunakan satu selendang saja yang disemat di bahu bahu.

Pengiring

Musik yang mengiringi Tari Remo ini adalah gamelan yang biasanya terdiri atas bonang barung/babok, bonang penerus, saron, gambang, gender, slentem siter, seruling, kethuk, kenong, kempul, dan gong. Adapun jenis irama yang sering dibawakan untuk mengiringi Tari Remo adalah Jula-Juli dan Tropongan, namun dapat pula berupa gending Walangkekek, Gedok Rancak, Krucilan atau gending-gending kreasi baru. Dalam pertunjukan ludruk, penari biasanya menyelakan sebuah lagu di tengah-tengah tariannya.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Remo

0 komentar:

Copyright © 2014 Indonesiaku