7 Pondasi Awal untuk Membangun Ekosistem Startup di Indonesia
Andi S.
Boediman adalah Managing Partner Ideosource Venture Capital. Artikel ini
diterbitkan ulang dari website Medium dengan izin Andi. Jakarta CC Sebelum saya
menjelaskan tujuh pondasi ekosistem startup Indonesia yang perlu kita
kembangkan, izinkan saya menjelaskan di mana posisi industri teknologi
Indonesia saat ini jika dibandingkan dengan tetangga-tetangganya. Akhir tahun
lalu, saya diundang ke Korea Selatan sebagai bagian dari Dreamplus Alliance.
Diprakarsai oleh Korean Hanwha Group, ini adalah persekutuan antara 11
akselerator dari negara berbeda di Asia untuk mempromosikan ekosistem startup.
Ide mendirikan persekutuan global akselerator kunci per regional ini adalah
untuk membantu startup yang menjanjikan agar mampu meraih mimpi mereka dalam
tingkat global. Setelah mempelajari kematangan dari setiap ekosistem, saya
melihat perbedaan antara ekosistem teknologi dan kematangan pasar masing-masing
negara. 1. Negara teknologi yang terisolasi China dan India sudah jelas
merupakan ekosistem yang matang dengan sendirinya. Mereka memiliki teknologi,
pendanaan, dan pasar yang besar. Sebagian besar pemain China dan India yang
masuk ke Indonesia merupakan pemenang di negara masing-masing. Mereka bisa saja
sudah sangat besar dan masuk ke pasar Indonesia sebagai diri mereka sendiri
atau mereka akan bekerja sama dengan perusahaan lokal di Indonesia. Perusahaan
teknologi Amerika Serikat seperti Google, Facebook, dan Twitter juga melakukan
hal ini di Indonesia. 2. Negara teknologi maju dengan pasar yang terbatas Jepang,
Korea Selatan, dan Taiwan adalah negara teknologi maju dengan pasar yang
matang, namun memiliki ukuran yang terbatas. Mereka memiliki teknologi yang
kita perlukan – dan mereka memerlukan pasar Indonesia untuk terus berkembang.
Mereka adalah mitra alami Indonesia; kita bisa memperoleh teknologi yang
memimpin di negara ini dan melokalisasinya untuk Indonesia. Beberapa perusahaan
besar akan masuk ke Indonesia dengan sendirinya. Sebuah cara yang baik adalah
dengan membeli lisensi IP, pengetahuan, dan teknologi. Model terbaik adalah
melakukan sebuah persekutuan yang saling menguntungkan dalam bentuk kerjasama
yang mana masing-masing pihak akan memberikan nilai tersendiri. 3. Negara
teknologi maju dengan pasar yang kecil Singapura adalah sebuah negara dengan teknologi
yang sangat maju namun tidak mempunyai pasar, sehingga perusahaan negara
tersebut harus berpikir secara global sejak awal. Kebanyakan startup teknologi
singapura akan menghadapi tantangan besar ketika memasuki Indonesia karena ada
kesenjangan yang cukup besar dari sisi teknologi dan kesiapan pasar. Pemerintah
Singapura telah menjadi pendukung kuat dari ekosistem startup, mulai dari
menyediakan lingkungan yang kondusif dan berbagai skema pendanaan, hingga
menyediakan akses untuk memasuki pasar Amerika Serikat dengan membuka sebuah
kantor di Negeri Paman Sam tersebut. Hal ini menjadikan Singapura sebagai akses
regional/global dan hub pendanaan startup di wilayahnya, namun bukan untuk
pasar yang nyata dan bertumbuh. 4. Negara teknologi berkembang dengan pasar
yang terbatas Thailand dan Filipina cukup mirip dengan Indonesia. Vietnam
sedikit di belakang Indonesia, sementara Malaysia sedikit di depan Indonesia
dalam hal teknologi dan kematangan pasar. Teknologi dan solusi apapun yang
berhasil di masing-masing negara dapat ditiru di negara lainnya. Ini sudah
menjadi model bisnis bagi beberapa pemain regional, termasuk startup logistik
retail online, aCommerce (yang diinvestasi oleh Ideosource). Sehingga,
kolaborasi antara Indonesia dan negara dengan teknologi berkembang tersebut
adalah saling membuka pasar masing-masing untuk para startup agar saling
memperkuat diri dan menjadi pemain regional. 5. Indonesia adalah negara
teknologi berkembang dengan pasar yang besar Indonesia memiliki pasar yang
besar sehingga startup lokal dapat bertahan dan berkembang dengan hanya
menargetkan pasar tanah air. Dengan lebih dari 250 juta penduduk, Indonesia
diperkirakan akan menjadi negara ketiga terbesar dengan populasi terbanyak
setelah India dan China dalam jangka waktu 20 tahun ke depan. Pendapatan per
kapita negara kepulauan ini adalah sebesar USD 3.500 (Rp 45 juta) – yang berada
di tengah-tengah China dan India – namun tumbuh dengan rasio dua kali lipat
dalam lima tahun terakhir. Pemerintahan baru Indonesia mempunyai target menaikkan
pendapatan nasional tersebut sebesar lima hingga tujuh persen dengan mengundang
investasi asing untuk infrastruktur dan pembangunan industri baru. Saya percaya
Indonesia dapat menjadi negara startup selanjutnya jika kita mampu meletakkan
pondasi dengan baik di dalam industri ini. Mari kita lihat lebih dekat kondisi
Indonesia saat ini dan bagaimana kita bisa berkontribusi untuk membuat hal
tersebut terjadi. Pondasi 1: Entrepreneur, diaspora, dan imigran Generasi
pertama entrepreneur internet di Indonesia kebanyakan mampu meraih kesuksesan
karena kemampuan dan keuletan mereka. Generasi kedua entrepreneur internet
kebanyakan mengenyam pendidikan dan memiliki pengalaman bekerja pada perusahaan
teknologi mumpuni di luar negeri. Kategori ketiga datang dari para eksekutif
yang bekerja pada perusahaan web global/multi-nasional di Asia atau di
Indonesia. Mereka memiliki latar belakang multi-etnis dan kebanyakan dari
mereka memiliki pengalaman konsultasi investasi bank/manajemen. Penyebaran ide
dan pengetahuan datang dari diaspora dan orang-orang yang saling terhubung.
Kebanyakan pemikir pintar menempuh pendidikan di universitas barat dan bekerja
pada perusahaan global/multi-nasional. Ketika mereka berhenti dari pekerjaan
mereka dan pulang ke tanah air, mereka membawa serta pengetahuan dan juga
kontak yang mereka miliki. Mereka memulai perusahaan baru dan menciptakan
sebuah jaringan yang saling terhubung secara dekat. Akselerator global dan VC
telah melihat hal ini dan secara aktif melakukan investasi pada founder-founder
tersebut. Membawa diaspora pulang ke tanah air dan mendorong mereka untuk
memulai sebuah perusahaan di Indonesia akan menginspirasi perpindahan
pengetahuan dan teknologi. Dengan pertumbuhan industri digital Indonesia, ada
kebutuhan besar untuk memperoleh bakat terbaik bukan hanya dari Indonesia,
namun juga dari negara lainnya. Dengan menarik imigran yang mempunyai kemampuan
cemerlang, mereka bisa membawa pengetahuan baru dan menciptakan pekerjaan di
dalam ranah ekonomi lokal. Bisnis barulah yang akan menciptakan pekerjaan baru,
dan ada beberapa kebijakan yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut.
William Tanuwijaya dari Tokopedia mempunyai rencana untuk merekrut banyak
sekali developer dari India, Vietnam, dan China agar tidak tertinggal dengan
pertumbuhan toko online dan memperoleh pengetahuan secara lebih cepat dari
bakat global. Negara yang menyambut entrepreneur Di beberapa negara yang telah
maju, ada ketertarikan dalam merekrut imigran yang mempunyai kemampuan
cemerlang dan dapat membawa pengetahuan baru serta menciptakan pekerjaan di
dalam ranah ekonomi lokal. Sumber gambar: Migreat, dari laman Wikipedia startup
visa. Untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara entrepreneur dan inovatif,
pembuat kebijakan harus mengambil langkah untuk menarik lebih banyak
entrepreneur asing dan bakat global yang mempunyai kemampuan tinggi ke
Indonesia. Ini bukan tentang membuka pasar Indonesia untuk pemain global, namun
mengundang para entrepreneur untuk menggunakan Indonesia sebagai pijakan untuk
melayani pasar global. Bali adalah ranah startup baru yang mengejutkan banyak
orang. Jika seluruh daerah di negara ini mampu merangkul bakat internasional
seperti yang Bali lakukan, kita mungkin bisa mengulang cerita Walter Spies,
Antonio Blanco, dan John Hardy dari dunia seni. Cara tercepat untuk meraih
pasar internasional adalah dengan cara mengundang mereka yang mengerti pasar
tersebut. Bandung dan Yogyakarta telah menjadi rumah bagi beberapa komunitas
developer, dan secara alami beberapa perusahaan internasional sudah membuat tim
produksi di kota-kota ini. Hal ini akan mendorong lebih kuat perpindahan
pengetahuan kepada para bakat lokal. Pondasi 2: Pendidikan internasional dan
pelatihan kejuruan 2,6 juta penduduk Indonesia diperkirakan akan memasuki tahap
pendidikan lebih tinggi dalam dekade selanjutnya dikarenakan pertumbuhan
ekonomi, keseimbangan politik, dan peningkatan tingkat pendidikan negara
kepulauan ini. Namun, hanya ada 36.000 siswa yang saat ini belajar di luar
negeri – itu hanya satu persen dari total jumlah siswa di Indonesia. Kebutuhan
internasionalisasi ini sangatlah penting agar banyak penduduk Indonesia yang
dilengkapi dengan perspektif lebih luas serta mindset yang lebih mendunia.
Australia dan Amerika Serikat adalah tujuan belajar paling populer untuk orang
Indonesia. Namun kontribusi yang lebih nyata bagi ekonomi Indonesia dapat
terjadi ketika kita mampu menarik kembali bakat-bakat tersebut. Ada sebuah
contoh teladan. Pemerintahan China menjalankan program “Thousand Foreign
Experts” yang dirancang untuk menarik akademika dan entrepreneur luar negeri
dalam 10 tahun ke depan untuk meningkatkan penelitian dan inovasi. Dalam
program ini, kandidat yang sukses akan memperoleh subsidi dan uang penelitian.
Program ini sudah terbukti mampu membawa kembali bakat terbaik ke China.
Sementara di Indonesia, jumlah siswa internasional yang belajar di negara
kepulauan ini hanya sekitar 3.000 siswa. Internasionalisasi pembelajaran
tingkat tinggi di Indonesia akan menghasilkan peningkatan arus ide, sikap, nilai,
teknologi, ekonomi, dan orang-orang dari berbagai negara – semuanya adalah
aspek yang dibutuhkan untuk globalisasi. Cara tercepat untuk menarik siswa
internasional dan membawa standar pendidikan lebih tinggi ini adalah dengan
bekerjasama dengan universitas yang telah mapan di Australia dan Amerika
Serikat, seperti yang telah dilakukan oleh Singapura, Malaysia, dan banyak
negara lainnya. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk internasionalisasi
tingkat pendidikan tinggi, penelitian, dan inovasi di Indonesia. Pasar tenaga
kerja di Indonesia ditandai dengan level tinggi pengangguran usia muda karena
pendidikan dan pelatihan kejuruan negara ini tidak sesuai dengan persyaratan
dunia kerja. Sebuah ide dikemukakan oleh Andrias Ekoyuono, VP of business
development Ideosource, bahwa dengan tenaga kerja yang ekstensif, Indonesia
dapat menjadi penyedia layanan BPO (business process outsourcing) dan KPO
(knowledge process outsourcing) setelah India dan Filipina. Pekerjaan yang
biasanya di-outsource adalah data entry, transkrip medis, penulisan konten,
software programming, atau HR dan layanan keuangan. KPO mempunyai fokus pada
aktivitas seputar pengetahuan dan informasi termasuk layanan hukum, properti
hak cipta dan layanan seputar hak paten, layanan seputar teknik, pengembangan
web, aplikasi CAD/CAM, analisa dan penelitian bisnis, penelitian hukum,
penelitian klinis, penerbitan, dan penelitian pasar. Untuk membantu mencapai
hal ini, pemerintah harus berkomitmen pada pendidikan kejuruan. Nilai kredit
dari pelatihan terbuka harus boleh ditransfer ke universitas, sehingga
menawarkan lulusan kesempatan untuk meningkatkan pendidikan kejuruan yang
mereka miliki dalam taraf yang lebih tinggi. Indonesia harus mengirim tenaga
kerja paling mampu ke pasar global dengan berfokus pada pendidikan kejuruan dan
teknis. Pondasi 3: Mendanai ekosistem startup Secara alamiah, startup memiliki
“angka kematian” yang sangat tinggi – mereka masih menjelajahi penawaran dan
bisnis model yang dimiliki. Kebanyakan startup gagal. Itulah mengapa hibah dan
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan model terbaik dalam tahap
inkubasi. Biaya memberikan investasi, menginkubasi perusahaan, dan menjelajahi
sisi lain dari traksi awal lebih besar daripada potensi pengembalian modal.
Program inkubasi sangat berisiko dan kebanyakan tidak akan memberikan return of
investment yang bagus, jadi pendanaan CSR dari berbagai perusahaan swasta atau
BUMN sangatlah baik untuk digunakan sebagai program inkubasi. Venture capital
yang berinvestasi secara alami juga merupakan sebuah risiko tersendiri. Semakin
tinggi risikonya, semakin tinggi imbalannya. Beberapa risiko termasuk rasio
kegagalan tinggi karena para entrepreneur yang kekurangan pengalaman, masuk ke
dalam pasar terlalu dini, menciptakan sebuah penawaran yang tidak dapat
berkembang, dan exit terbatas bagi investasi. Kami sudah melihat hal ini sejak
awal gelombang dot-com pada awal tahun 2000an. Kerjasama antara pemerintah dan
perusahaan venture capital swasta telah diadopsi oleh beberapa negara seperti
Singapura dan Taiwan. Menkominfo Rudiantara mengikuti model ini dan ingin
mengumpulkan dana sebesar USD 1 miliar (Rp 12 triliun) untuk membantu
mengembangkan startup digital di Indonesia. Uang tersebut akan datang dari
sektor swasta. Memang menjadi sebuah kabar gembira jika pemerintah mencoba
mendukung industri teknologi, namun apakah kita membutuhkan peran serta
pemerintah? Hal ini juga menimbulkan banyak pertanyaan. Siapa yang akan
bertanggung jawab ketika investasi tersebut gagal? Akankah VC yang ditunjuk
disalahkan? Akankah menjadi investigasi KPK? Jika ada banyak uang dari
pemerintah, bukankah akan muncul lonjakan institusi oportunis yang bersaing
mendapatkan dana ini tanpa rekam jejak yang jelas? Yang kita butuhkan adalah
kebijakan pendanaan yang lebih terbuka, bukan pendanaan itu sendiri. Pendanaan
USD 100 juta (Rp 1,2 triliun) yang diterima Tokopedia bulan Oktober tahun lalu
merupakan sebuah berita besar. Hal ini menimbulkan lingkungan pendanaan yang
positif di Indonesia. Melihat ke dalam pertumbuhan pasar dan momentum
pendanaan, kita akan melihat pendanaan senilai miliaran dollar dalam jangka
waktu tiga tahun ke depan. Pendanaan asing langsung dari investor Korea dan
Jepang sudah ada di Indonesia sejak 2011. Investasi terbaru pun dilakukan oleh
raksasa China. Pemain global seperti Rocket Internet dan Nasper sudah aktif
berinvestasi sejak 2012. Dana yang ditujukan untuk Asia Tenggara kini mulai
difokuskan ke Singapura dan Indonesia sebagai sasaran investasi utama. Dana
yang ada sudah cukup untuk industri teknologi dan tren yang ada tumbuh dalam
kecepatan tinggi bahkan tanpa dukungan pemerintah. Konglomerat Indonesia pun
sudah berinvestasi di ranah digital. Djarum sudah melakukannya melalui GDP
Ventures dan Merah Putih Incubator; Kompas Gramedia melalui pendanaan langsung
dan Skystar Capital; Bakrie melalui pendanaan langsung dan venture capital;
Salim bekerjasama dengan Rocket Internet melalui PLDT; Sinar Mas melalui
venture capital sendiri dan Ardent; Emtek kebanyakan melalui pendanaan
langsung; Lippo melalui venture capital mereka sendiri dan pendanaan langsung.
Ditambah lagi, Ciputra Group menyediakan dukungan bagi entrepreneur melalui
program GEPI. Sebagian besar perusahaan telekomunikasi Indonesia juga sudah
melakukan investasi yang lumayan besar dalam ranah digital. Dengan dukungan
dari investor lokal, Ideosource percaya untuk berinvestasi di perusahaan
internet terbaik dan founder terpintar. Kami sudah berinvestasi di banyak
perusahaan Indonesia, seperti Touchten, Saqina, Orori, dan Female Daily. Selain
e-commerce dan media digital, Ideosource berkomitmen untuk berinvestasi pada
startup yang disruptif dan inovatif seperti fintech dan internet of things.
Pondasi 4: Perizinan usaha dan regulasi Indonesia menjadi terkenal – secara
negatif – karena birokrasi yang “tidak ramah” ketika memproses izin usaha dan
regulasi yang menyulitkan pendanaan langsung dari luar negeri. Presiden sudah
berjanji bahwa hal ini adalah masa lalu dan telah meluncurkan sebuah layanan
terpadu bagi investasi langsung dari luar negeri. Namun, Indonesia masih harus
meningkatkan banyak hal ketika berbicara mengenai kemudahan melakukan bisnis.
Namun Presiden dan kabinetnya tampak sangat rentan terhadap kontroversi. Media
Indonesia baru-baru ini melaporkan bahwa pemerintah akan melindungi bisnis online
lokal dari akuisisi asing, yang ternyata merupakan berita tidak benar. Saya
sangat merekomendasikan pemerintah untuk memperbaiki public relation mereka
agar dapat membantu strategi komunikasi dan menyampaikan pesan yang konsisten
supaya menghindari kebingungan antar pemilik bisnis. Ketika berbicara mengenai
startup, kita membutuhkan perubahan dalam regulasi yang ada ketika menerima
investasi asing. Regulasi yang ada perlu lebih terbuka jika kita ingin
mengembangkan budaya inovasi. Untuk mendukung sebuah lingkungan dan regulasi
yang bersahabat terhadap investasi, rekan saya di Ideosource, Edward Ismawan
Chamdani, mengemukakan pendapat bahwa pemerintah perlu menyediakan insentif
bagi investor, seperti pembebasan pajak capital gain, hukum yang lebih ramah
yang mengizinkan tingkatan saham berbeda untuk melindungi investor, dan
berbagai program finansial/pajak/hukum lainnya untuk memberi insentif bagi para
investor agar mereka menyalurkan dana dan investasi di Indonesia alih-alih luar
negeri. Ditambah lagi, ada beberapa kontroversi dalam hal regulasi di ranah
e-commerce dalam bentuk “Daftar Negatif Investasi”. Daftar ini berisi sektor
mana saja dalam ekonomi Indonesia yang tidak boleh dijamah atau terbatas bagi
investasi asing. Saat ini pemerintah Indonesia sudah menutup investasi asing
dalam bisnis yang secara langsung menjual pada konsumen. William Tanuwijaya,
CEO Tokopedia, berharap agar pemerintah dapat menyediakan sebuah ekosistem
kondusif alih-alih berfokus pada mengadukan investor lokal dan asing. Pondasi
5: Infrastruktur fisik dan digital Bisnis broadband Indonesia meningkat ganda
karena adopsi internet yang tinggi. Akan tetapi, penetrasi internet masih tetap
lambat, dengan hanya 20 persen populasi yang online, jika dibandingkan dengan
40 persen di Thailand dan 90 persen di Singapura. Ini merupakan pekerjaan rumah
terbesar bagi pemerintah jika mereka memang serius ingin membangun ekosistem
web dan teknologi. Indonesia menghabiskan satu persen pendapatan nasional untuk
infrastruktur pada tahun 2009, bandingkan dengan nilai yang lebih besar dari
negara tetangga China (8 persen), Korea Selatan (2,5 persen), dan antara 3-6
persen untuk negara seperti Singapura dan Malaysia. rencana infrastruktur baru
Indonesia Sumber gambar: PwC (link PDF) Presiden Indonesia menyampaikan
presentasi tentang berinvestasi di Indonesia di depan para pemimpin global di
APEC Summit. Dalam agenda yang dikemukakan, ada program pembangunan jalan tol
yang melewati lautan, sebuah program untuk memutakhirkan 13 pelabuhan utama
yang dapat menurunkan biaya logistik negara kepulauan ini sebanyak 10 hingga 15
persen. Saat ini, antara 18 hingga 22 persen biaya produksi perusahaan di
Indonesia berasal dari logistik, khususnya karena mahalnya biaya transportasi
antar pulau negara ini. Di Asia Tenggara, angka ini di bawah 10 persen. Antara
tahun 2014 dan 2017, akan ada tambahan delapan pelabuhan, dua bandara, delapan
jalur kereta api, lima pembangkit listrik, dan 11 persediaan air dan tempat
pengolahan limbah. Dengan membangun proyek infrastruktur ini, Indonesia akan
meningkatkan kualitas akses dan distribusi yang dimiliki. Pondasi 6:
Infrastruktur dan adopsi e-money Indonesia memiliki tingkat adopsi dan
infrastruktur uang digital yang rendah. World Bank Global Financial Index of
2011 menyebutkan bahwa hanya 19,6 persen populasi orang dewasa di Indonesia
mempunyai rekening dalam sektor finansial resmi. Pada tahun 2014, jumlah
pengguna kartu kredit di Indonesia berada di angka sekitar 8 juta pengguna
dengan jumlah 15,8 juta kartu. Hal ini masih merupakan sebuah tantangan besar
bagi adopsi digital. Sektor smartphone yang berkembang di Indonesia menjadikan
mobile sebagai infrastruktur perbankan alternatif yang mampu memberikan layanan
keuangan mudah diakses, sederhana, dan terjangkau bahkan dalam area terpencil.
Namun perusahaan telekomunikasi mobile belum bisa diandalkan untuk menyediakan
layanan keuangan dikarenakan mempunyai sejarah menyalahgunakan biaya layanan
konten mobile. Dan karena perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki ATM, solusi
e-wallet yang ditawarkan oleh perusahaan telekomunikasi tidak akan mudah untuk
diuangkan. Dari sekian banyak solusi yang ditawarkan di Indonesia, Mandiri
E-Cash terlihat sebagai solusi paling disruptif dalam hal uang digital. Mandiri
E-Cash adalah sebuah sistem debit yang terhubung dengan nomor handphone
alih-alih akun bank. Pengguna melakukan deposit uang di agen e-cash yang
biasanya toko atau kios, atau dengan melakukan transfer antar rekening. Dana
tersebut dapat digunakan untuk transfer dan pembayaran, setelah melakukan
otentikasi melalui handphone. Bahkan tanpa membuka akun di bank, Anda dapat
menarik uang dari ATM Mandiri. Adopsi dalam cakupan yang luas masih menjadi
tantangan terbesar bagi e-money. Penggerak utama untuk adopsi e-money datang
dari sumber yang tidak disangka-sangka: pemerintah Indonesia. Setelah
memberhentikan subsidi bahan bakar, pemerintah memberikan subsidi uang tunai
langsung kepada masyarakat yang tidak mampu. Program ini dinamakan BLNT
(bantuan langsung non tunai). BLNT dibagikan melalui uang elektronik agar
mengurangi biaya distribusi. Dengan menargetkan 15 juta orang tidak mampu pada
akhir tahun 2015, Indonesia akan menjadi negara kedua terbesar di dunia dalam
hal penggunaan uang mobile setelah Kenya. Dengan adopsi lebih luas dari uang
digital, hal ini memberi masyarakat sebuah keuntungan langsung untuk
menghubungkan solusi ini dengan ekosistem pembayaran digital lain termasuk
pengiriman uang, e-commerce, dan banyak hal lainnya. Kita bisa menandai hal ini
sebagai awal bagi Indonesia menjadi masyarakat tanpa uang tunai. Pondasi 7:
Nasionalisme Indonesia Peng T. Ong, managing director Monk’s Hill Venture dan
co-founder Match.com, menyinggung dalam diskusi inspiratif mengenai semangat
nasionalisme yang tumbuh di Indonesia. Kita melihat semangat nasionalisme
dengan cara peduli dengan diri sendiri, masa depan kita, dan negara kita. Kita
melihat sebuah generasi pemimpin baru yang muncul, membuat orang percaya lagi
terhadap pemerintah dan bagaimana hal tersebut dapat membawa hal terbaik bagi
orang-orang dan bangsa. Ketika semua orang percaya pada satu hal, hal hebat
akan terjadi. Kita akan melihat Indonesia berkembang dan menjadi negara yang
hebat. Sebuah negara startup baru.
Sumber : http://id.techinasia.com/pondasi-awal-ekosistem-startup-indonesia/
Sumber : http://id.techinasia.com/pondasi-awal-ekosistem-startup-indonesia/
0 komentar: